top of page

“DON’T CALL ME A HIPSTER ! “

28 Jun. 13. 13:43.


Kaos kaki berwarna cerah, meriah dengan corak cute, memakai ray ban, skinny jeans dengan di lipat diatas tumit, kumis, kemeja kotak-kotak, topi ngatung, full tattoo di leher dan di tangan, mesin tik klasik, buku, pendengar musik indie sejati, anti mainstream, perokok, vegetarian (dont meat), ears phone on the neck, fixie bike, PBR beer, i phone, cool person, individual, aneh, menonton film yang banyak orang tidak tahu, take a wear photos for update social network, instagram, lomograp, hike, lake, camp, camera lomo, dan pecinta produk vintage. Bagi anda yang tinggal di perkotaan, kota besar, pasti sudah tidak asing dengan fenomena ini. Yap itulah Hipster.

Kata hipster pertama saya dapatkan dari sebuah image dari komputer teman. Di gambar tersebut terlihat ilustrasi seorang skinhead mengancungkan jari tengah ke sekelompok hippies dengan caption 1980 – bla-bla, saya tidak ingat tahunnya. Dan di bawahnya gambar lain yang meilustrasikan seorang skinhead mengancungkan jari tengahnya lagi ke arah sekelompok remaja yang di sebut “hipster” dengan caption 2000 – bla-bla. Kelompok hippies saya tahu dengan kehadirannya dan mengerti dengannya, tapi tidak dengan kata hipster, ini kata baru bagi saya. Di ilustrasi tersebut hippies berevolusi menjadi hipster yang digambarkan memakai kemeja kotak-kotak, kumis, topi di pakai ngantung, syal, skinny jeans di lipat di atas tumit, dan tidak lupa kaca mata tebal, ala kutu buku (ray ban). Ketika melihat image tersebut saya merasa akrab dengan style itu, seperti atau mendekati style yang selama ini menjadi influend saya. Dari hal tersebut saya mulai penasaran untuk mencari hal tentang apa itu hipster ?, kenapa para skinhead membenci mereka, saya pribadi penganut beberapa teory di ideologi skinnhead. Ada apa dengan hipster, apa yang mereka lakukan sehingga di benci banyak kalangan nantinya.

Image

Novian Arif


Bermodalkan informasi dari internet saya merasa cukup mendapakan sedikit pencerahan tentang informasi hipster. Disini saya tuliskan beberapa point-point tentang hipster walaupun ini masih banyak kurangnya. Dari sebuah picture hipster yang saya ketik di google searching image, saya menemukan. Dari tahun 2000-2009 hipster mengalami beberapa evolusi dengan berbagagai panggilan atau style dari tahun 2000 disebut (the Emo), 2001 disebut (the emo redux), 2002 (the ashton) , 2003 (the scenester), 2004 (the twee), 2005 (the fauxhemian), 2006 (the mountain man), 2007 (the vintage queen), 2008 (the williamsburg), and 2009 (the meta nerd).

Bisa dilihat dari desain poster “life style” ini.


Image

Paste magazine : Library of congress Print and photograps callection AP photo : Charles Knoblock.

Saya tidak mengetahui dengan pasti kenapa image hipster melekat dengan produk-produk yang saya tulis di pembukaan tulisan ini. Tapi bisa saya katakan bahwa para hipster, mereka menciptkan brand, desain fashion baru, fresh, dan style. Tidak sedikit virus dari kreatifitas hipster tersebut di tiru para remaja lainnya di dunia, dan sayangnya sebagian dari banyak mereka hanya sebagai peniru, atau konsumer pasif.

Geliat hipster bisa kita temukan di beberapa video di youtube, vimeo dan lainnya. Di salah satu video klipnnya “foster the people” yang berjudul ~ “houdini”, bisa dilihat beberapa hipster sebagai fans dari band tersebut, yang terlihat di video clipnya. Dengan memakai ray ban, toms shoes, kumis ala williamsburg, janggut, skinny jeans, boat, vintage stuff, unik, irony, cllasic, dan yang pasti indie.

Hipster adalah percampuran dari era hippies, 8’ties, vintage, punk, grunge, dan emo. Hipster identik dengan citra individual, indie, anti label, ada beberapa dari mereka tidak mau disebut hipster, dan malah membenci hipster itu sendiri. Para hipster berawal dari para remaja akademik, kutu buku atau disebut nerd yang berusaha menolak akan konsumerism, anti terhadap mainstream dan mencoba menciptakan cara, atau mindset baru terhadap mayoritas di lingkungan mereka. Ada juga menyebutkan hipster adalah “someone who take them self a little those seriously with a dressed absolutly perfecly”, atau seseorang yang dengan serius memperhatikan penampilannya. Kreatifitas melalui style, found a great music, fashion and back to vintage stuff.

Hipster refers to a subculture of young, urban middle-class adults and older teenagers that appeared in the 1990s. The subculture is associated with independent music, a varied non-mainstream fashion sensibility, progressive[1][2] or independent political views, alternative spirituality or atheism/agnosticism, and alternative lifestyles. Interests in media include independent film, magazines such as Clash, and websites like Pitchfork Media.[3] Hipster culture has been described as a “mutating, trans-Atlantic melting pot of styles, tastes and behavior[s]”.[3] Christian Lorentzen of Time Out New York argues that “hipsterism fetishizes the authentic” elements of all of the “fringe movements of the postwar era—beat, hippie, punk, even grunge”, and draws on the “cultural stores of every unmelted ethnicity”, and “regurgitates it with a winking inauthenticity.”[4]http://en.wikipedia.org/wiki/Hipster_%28contemporary_subculture%29

Seperti di lagunya band hipster yang berjudul “the get down”. Di video clips nya mereka menyuarakan beberapa ciri khas hipster, seperti sepatu toms, no call, only texting, fixie bike, coffey cafe, pendengar band indie seperti yang tertulis di kaos salah satu personil band “listen to band that don’t even exist yet” atau mendengarkan lagu band yang belum eksis atau terkenal, yang bisa temukan di internet secara free. Di lagu tersebut Mereka menolak untuk di labelkan sebagai hipster “don’t call me a hipster!” atau saya tidak suka di panggil hipster !.

“Hipsters are the friends who sneer when you cop to liking Coldplay. They’re the people who wear t-shirts silk-screened with quotes from movies you’ve never heard of and the only ones in America who still think Pabst Blue Ribbon is a good beer. They sport cowboy hats and berets and think Kanye West stole their sunglasses. Everything about them is exactingly constructed to give off the vibe that they just don’t care.”

    — Time, July 2009[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Hipster_%28contemporary_subculture%29

Bagi para hipster haters, mereka menyebutkan para hipster sebagai anak manja, yang mendapatkan uang masih dari orang tua mereka, tapi untuk sekarang anggapan itu terbantahkan karena banyak dari para hipster mempunyai pekerjaanya sendiri seperti sebagai grapic desainer, musisi band, desainer fashion, dan penulis. Sebutan aneh juga melekat bagi hipster, seseorang yang berusaha dengan keras untuk menjadi keren dan stylist, kebanyakan dari mereka tidak mau berteman dengan yang lainnya selain sesama hipster, bisa dikatakan mereka seius untuk pilih-pilih teman, mereka merasa diri mereka lebih keren dari yang lainnya, sebutan “gay” juga banyak melekat bagi para hipster, tidak laki-laki, para metal dude mengklaim mereka sebagai pecinta musik “weezer” dan stuff like that. Di salah satu video comedy yang membenci hipster di youtube video yang berdurasi 08 : 02 menit ini berjudul “hipster hunter” dua orang pemuda Los Angeles, California Carl and Travis berpakaian ala “cowboy” yang anti akan kehadiran para hipster dan mempunyai misi untuk membasmi virus hipster lebih lanjut dengan membunuh mereka satu persatu. Mereka menyebutkan kalau “para hipster pantas di bunuh, mereka para hipster seperi virus yang berbahaya untuk lingkungan, generasi dan dunia.”.

Banyak permasalahan sebuah subculture underground tercemar akibar dari ketidaktahuan dan campur tangan dari konsumen pasif produk budaya itu sendiri, yang berkibat sangat buruk untuk root dari budaya itu. “While mainstream society of the 2000s (decade) had been busying itself with reality television, dance music, and locating the whereabouts of Britney Spears’s underpants, an uprising was quietly and conscientiously taking place behind the scenes. Long-forgotten styles of clothing, beer, cigarettes and music were becoming popular again. Retro was cool, the environment was precious and old was the new ‘new’. Kids wanted to wear Sylvia Plath’s cardigans and Buddy Holly’s glasses — they revelled in the irony of making something so nerdy so cool. They wanted to live sustainably and eat organic gluten-free grains. Above all, they wanted to be recognised for being different — to diverge from the mainstream and carve a cultural niche all for themselves. For this new generation, style wasn’t something you could buy in a department store, it became something you found in a thrift shop, or, ideally, made yourself. The way to be cool wasn’t to look like a television star: it was to look like as though you’d never seen television.”

    — Matt Granfield, HipsterMattic[16] http://en.wikipedia.org/wiki/Hipster_%28contemporary_subculture%29

Saya sendiri tidak masalah dengan orang-orang yang di “labelkan” sebagai hipster dan mereka sendiri juga tidak merasa sebagai hipster, mayoritaslah yang terlalu sibuk menilai mereka, memberi penamaan, panggilan, sindiran dan lainnya. Disebabkan karena sebagian faktor kecemburuan social, status, kreatifitas, politik mayoritas, dan lainnya yang pada dasarnya tidak perlu di suarakan. Hipster menurut rootnya di katakan indie musik, kreatif style, no maistream, no label, beer, book, bike, hike, boat, kumis, acak-acakan, demokasi, be yourself maka saya katakan hipster dapat dikatakan sebagai minoritas kreatif, semangat, segar yang positif untuk pengembangan potensi diri. caooo

#desktop #art #community #website #success #cute #event #book #music #audio #transportation #reading #webdesign #punk #comic #animal #web #poster #illustration #mind #mail #love #books #graphicdesign #time #family #sarcasm

1 view0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page