top of page

FREUD DAN FEMINIM


Image

gambar dari : Posted on November 3, 2006 by Grumpy (http://grumpasaurus.com/category/feminism/)

PENGANTAR.

Seperti ditunjukkan oleh namanya, psikonalisis hendak menawarkan penjelasan atau analisis mengenai struktur pikiran—psyche—dan hubungannya dengan tubuh, serta menggunakan analisis tersebut sebagai dasar dalam menangani beberapa jenis penyakit tertentu. Psikonalisis umum dikenal dengan nama “penyembuhan bicara”. Psikonalisis sering kali digambarkan dalam film atau novel dalam adegan ketika seorang pria tua berjenggut dengan aksen Eropa duduk dibelakang sofa dengan pasiennya, sering kali perempuan, berbaring disitu;sang pasien semakin mengenali dirinya sendiri dengan menceritakan kisah hidupnya pada sang analis yang harus menafsirkan kisah tersebut. Skenario macam ini menjadi sangat umum dalam budaya abad ke-20, seperti juga konsep-konsep utama psikonalisis: kecemburuan penis, Oedipus kompleks, simbol phalus Seperti ditunjukkan oleh beberapa istilah, psikonalisis sangat berkaitan erat dengan gender, seksualitas, hubungan kekeluargaan, dan seperti yang akan kita lihat, juga dengan kenyataan bahwa ungkapan dan pembentukan hal-hal tadi tidak selalu hadir dalam pikiran sadar. Jelas bahwa wilayah-wilayah ini juga menjadi perhatian utama feminisme. Namun demikian, istilah istilah ini juga memperlihatkan dari mana datangnya rasa tak nyaman feminimisme terhadap psikonalisis. Warisan Freudian dalam psikonalisis berarti bahwa yang maskulin menjadi norma, yang feminim hanya menjadi suatu yang kurang, versi yang “dikebiri” dari norma tersebut. Jauh dari menjadi alat untuk menganalisis penindasan atas perempuan, psikonalisis dilihat oleh sebagian feminis sebagai sebuah senjata dalam perlengkapan perang patriarki. Untruk memperoleh wawasan dari psikonalisis atas nama feminimise, terutama konsep ketidaksadaran, dan gagasan bahwa gender adalah identitas kejiwaan dan bukan biologi, para penulis pre-Oedipal dalam kehidupan seorang anak, juga pada keibuan. Dalam hal ini, makalah ini akan fokus membahas peran Freud dalam kemunculan psikonalisis dan feminimisme.

Freud dan Psikonalisis

Sigmund Freud dilahirkan di Kekaisaran Austro-Hungaria pada 1856 dan meninggal di London pada 1938 setelah melarikan diri dari Wina tempat ia hidup dan bekerja, setelah Nazi menginvasi Austaria. Ia menjelaskan psikonalisis sebagai fenomena abad ke-20 (The Interpretations of Dreams yang diterbitkan tahun 1990), namun juga mengakui pelopor abad ke-19 yang karyanya ia sintesisikan dalam menciptakan konsep utamanya, terutama mengenai ketidaksadaran. Freud pertama-tama berpraktik sebagai ahli saraf; pada 1885 dia pergi ke Paris untuk bekerja dengan Jean Martin Charcot di klinik penyakit saraf Salpetriere milik Charcot. Charcot terlibat dalam penanganan histeria—jenis-jenis gejala fisik yang melemahkan, yang menjangkiti perempuan tanpa sebab organik yang jelas.

Sekembalinya ke Wina pada 1887, Freud melanjutkan penelitiannya mengenai pikiran dengan menggunakan teori koleganya Josef Breuer, yang menyatakan bahwa “histeria adalah hasil dari trauma fisik yang telah dilupakan oleh pasien” (Starchey, 1955: 14). Bersama, mereka menulis Studies of Hysteria (1895), sebuah kumpulan sejarah lima kasus perempuan yang “menderita karena masa lalu” (Freud, 1962; 39). Ketekutan dan fobia para perempuan tersebut (terhadap perjalanan kereta api, kabut, lift, Indian kulit Merah, cacing), halusinasi (Miss Lucy R. menderita halusinasi penciuman yang berulang, bau puding gosong), dan pelbagai gejala fisik (termasuk amnesia, asma, merasa kedinginan, leher kaku, juling dan gagap) semua terbukti bermula dari ingatan tertekan. Salah satu dari perempuan-perempuan tersebut, Anna O. ternyata menciptakan frase “penyembuhan bicara” (ibid.: 83) untuk menyebut kesembuhan yang didapatnya dengan membicarakan halusinasi dengan Breuer. Breuer mengakui bahwa fakta yang ganjil ini—hilangnya gejala begitu mereka mendapat ungkapan-ungkapan verbal—mengejutkannya, dan baru beberapa saat kemudian hal ini digunakan sebagai cara terapi (102). Elaine Showalter menyatakan bahwa salah satu gejala yang dialami Anna, mencakup anoreksia dan kesulitan bicara, kehamilan palsu, sangat berkait erat dengan wawasan terapetisnya. Seperti juga cintanya kepada Breuer, hal ini menjelaskan kelahiran metode psikonalisis bersama milik mereka. Terapi psikonalisis tergantung pada pengalihan (transference) dan pengalihan-balik (countertransference) yang terjadi antara analis dan yang dianalisa, di mana yang satu melihat hubungan masa kecilnya dihidupkan kembali dalam diri yang lain. Showalter melihat peralihan dari kebiasaan Charcot untuk memamerkan dan memotret pasien perempuannya menjadi dialog “penyembuhan bicara”, sebagai sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kepentingan perempuan:

Karena Breuer menghargai kecerdasan pasien perempuannya yang histeris, memintanya bicara, dan kemudian mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan sang pasien, ia pun dapat menerjemahkan bahasa tubuh dan antibahasa perempuan yang berupa histeria ke dalam teori psikonalisis mengenai ketidaksadaran.

(Showalter 1985: 157)

“Hubungan antara gejala dan… trauma fisik” (Freud, 1962: 51), yang menjadi jelas melalui histeria, menunjukkan bahwa pada bagian-bagian pikiran yang tidak hadir baik bagi subjek sendiri maupun bagi pengamat; bagian inilah yang disebut Freud sebagai “the unconscious (yang tidak sadar)”.  Selama analisis dirinya, Freud membentuk tiga prinsip yang kemudian ia kembangkan sepanjang karirnya, sebagaimana dinyatakan James Strachey (Starchey, 1955: 18-21). Menurut Freud, ketidaksadaran terdiri dari kegiatan insting yang terutama bersifat seksual dan merusak, yang berkonflik dengan dorongan eksternal. Kedua, analisis atas mimpi terbukti sangat berguna dalam mengevaluasi ketidaksadaran; seperti halnya, yang ketiga, rumusan Freud mengenai hubungan antara proses berpikir utama (yang tidak sadar) dan sekunder (yang sadar). Kemudian , ia membagi jiwa (psyche) menjadi beberapa wilayah yang lebih umum dikenal, yaitu wilayah id (penyimpanan insting tak terukur), ego (elemen realistis) dan super-ego (fungsi orangtua yang terinternalisasi, yang bersifat moral dan kritis).

Antara 1893 1893 dan 1895, Freud mengembangkan teorinya mengenai Oedipus kompleks dan seksualitas bayi. Dalm konsep yang pertama, anak laki-laki mencintai ibunya dan mengalami cemburu penuh kebencian terhadap ayhnya. Kompleks yang dideritanya diselesaikan dengan “kompleks pengebirian” : sang ayah turut campur untuk mencegah akses si anak terhadap sang ibu, dengan kesakitan karena kehilangan organ tubuhnya; dan ketika mematuhi, si anak laki-laki mengidentifikasi diri dengan sang ayah dan kekuasaan yang dimilikinya. Freud membuat si anak laki-laki ini sebagai model bagi kedua jenis kelamin, dan mengambarkan anak perempuan sebagai versi tidak sempurna dari anak laki-laki: seorang anak perempuan “mengembangkan rasa rendah diri karena ketiadaan penis dalam dirinya”, begitu menurut Freud (1962: 193). Karena perempuan sudah “dikebiri”, dengan tidak memiliki penis, Oedipus kompleks si anak perempuan ini bukannya diselesaikan, namun justru dimulai oleh kompleks pengebirian tersebut. Dalam kasus ini, menurut Freud, si anak perempuan sekarang mencintai sang ayah dan membenci ibu yang telah mengkhianatinya, yang telah “mengirimnya ke dunia yang tidak lengkap” (ibid.). dari komentar Freud ini, jelaslah mengapa Oedipus kompleks begitu problematis bagi psikonalisis feminim, karena hal ini membentuk perempuan sebagai “jenis kelamin kedua” yang lebih rendah, dalam frase Simon de Beauvoir. Para penulis pos-Freudian telah memodifikasi preskripsi yang tampak dalamn rumusan tadi: Lacan menekankan pada simbolisme kekuasan phalus, yang secara teoritis dapat dikuasai oleh kedua jenis kelamin; Klein menyatakan bahwa Oedipus kompleks muncul lebih awal daripada yang diperkirakan Freud, dan dorongan bayi terfokus bukan kepada ayah ataupun anatominya, melainkan kepada ibu dan anatominya.

Freud dan Perempuan.

Hubungan ambivalen antara pemikiran feminis dengan psikonalisis Freudian dan apa yang disebut sebagai “kesombongan phalus dan otoritas paternal” (Flieger, 1989: 191) dapat ditelusuri pada Studies of Hysteria karangan Freud dan Breuer. Di satu pihak, dalam Studies telah dimulai suatu karya mengenai pelbagai konsep yang menentukan pemikiran abad ke-20 secara umum. Seperti yang kita lihat, fenomena histeris dalam gejala-gejala fisik yang memiliki penyebab psikis, bukan sekadar penyebab organis, telah menunjukkan kepada Freud keberadaan jiwa yang terbagi antara alam sadar dan tidak sadar; dan karena asal-usul psikis pelbagai gejala ini ditemukan di wilayah seksual, ditemukanlah juga hgagasan mengenai libido yang sulit dipuaskan begitu saja. Di lain pihak, Freud juga menjadi bagian dari masalah yang dirumuskannya sendiri. tidak di sini dan tidak juga dalam karyanya, “Fragment of an Analyis of a Case of Hysteria”, sebuah kasus mengenai Dora (1905), ia memberikan komentar panjang lebar mengenai tekanan sosial yang dialami perempuan, bahkan jika hal itu berhubungan erat dengan penyakit yang diderita pasiennya. Dora yang berusia 18 tahun menulis pesan bunuh diri, setelah menolak rayuan seorang sahabat keluarganya yang berusia lanjut; Freud menerima bahwa si gadis dikirimkan kepada laki-laki tua tersebut untuk membujuk agar si gadis menerima laki-laki itu sehingga ayah si gadis dapat melanjutkan hubungan terlarangnya istri sang pria. Freud tidak hanya gagal dalam misinya untuk memaksa Dora melakukannya, namun ia juga tidak mampu menemukan cara bagaimana sang gadis mengumpulkan pengetahuan seksual yang sangat canggih, atau juga dalam memperthankan sebagai pasiennya: gadis tersebut secara tiba-tiba menghentikan analisisnya setelah beberapa bulan. Sejarah kasus ini dianggap sebagai suatu balas dendam kepada seorang gadis belia yang cerdas dan menyenagkan, yang tidak bersedia menyerah kepadanya, baik dirinya sebagai lelaki yang lebih tua maupun sebagai seorang analis. Gadis tersebut juga tidak mampu mengikuti jejak kakak laki-lakinya, yang menjadi politisi terkemuka (lihat Bernheimer dan Jkahane, 1985). Begitu juga, Showalter menunjukkan bahwa bagi pasien Breuer yang bernama Anna O, “histeria merupakan ‘pelarian’ kreatif dari kebosanan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-sehari” sebagai seorang gadis muda dalam keluarga Yahudi Ortodok di abad ke-19 yang sangat membatasi” (Showalter, 1985: 156).

Kesimpulan

Psikonalisis Freudian menawarkan pada feminisme sebuah sintesis karya terdahulu mengenai ketidaksadaran, dan wacana mengenai tubuh dan seksualitas. Karya kritis berikutnya mengenai tulisan-tulisan Freud mengungkap kekurangannya: yaitu kenyataan bahwa anak laki-laki diambil sebagai norma bagi perkembangan manusia, dan bahwa pada saat penting, keyakinan Freud mengenai Oedipus kompleks pada anak perempuan gagal: ia tidak dapat membuktikan bahwa karena kebencian kepada ibunya yang tidak memberinya penis, gadis kecil itu nantinya akan mengidentifikasikan diri dengan ibunya saat mencapai kedewasaan. Lebih jauh, perlakuan Freud terhadap pasien laki-laki dan perempuannya ternyata menggunakan materi yang berbeda; tulisannya mengenai seksualitas perempuan sering tidak konsisten, dan merumuskan femininitas bersifat patologis. Untuk diskusi terutama mengenai pengkambinghitaman sang ibu dalam rumusan Freud, lihat Benjamin (1990); dan untuk sifat preskriptis dalam teori-teorinya, lihat Millet (1969). Pelbagai keberatan khusus ini harus dibandingkan dengan penggunaan konsep-konsep Freud yang bisa di lakukan oleh kalangan feminis dalam konteks yang sangat berbeda dari yang model yang “dikebiri” seperti yang diajukan oleh psikonalisis Freudian.

Rujukan

Jackson, stevi dan Jackie Jones. (ed.), 2009, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, ( Yogyakarta & Bandung: Jalasutra). Hlm 277-284.

Sue Vice, Psyonalytic feminist theory

0 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page