LELAKI, AYAH DAN MITOS.
Ketika sedang asik menikmati manja visual dan imaji dari sebuah tontonan hollywood movie, seorang teman datang mengajak pergi untuk menyaksikan sebuah pertunjukan teater di kampus. Entah kenapa saya langsung bergairah untuk segaera berangkat (mungkin memang kebutuhan untuk keluar dari ruangan pengap dan dingin, menarik saya), diperjalanan ke kampus atau ke tempat pertunjukan di adakan, saya berharap ini tidak hanya sekedar membuang-buang waktu, you know what i means.
Tempat duduk sudah saya duduki dengan manis, pertunjukan pun dimulai. Naskah Drama “Ayahku Pulang” Karya Usmar Ismail. “hmm ini pasti pecintraan kesedihan sebuah keluarga” saya bergumam. Cerita di awali dengan adegan seorang Ibu yang sudah tua sedang berdialog dengan anak sulungnya, si Ibu tua mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki, satu perempuan yang paling bungsu. Si Ibu tua tampak sekali berusah untuk mengingat kejadian manis (nostalgia) masa lampaunya wakyu suaminya atau ayah dari anak-anaknya ada dirumah 20 tahun yang lalu. si Ibu tampak sedih bercampur harap akan kerinduannya terhadap suaminya dan juga bapak dari anak-anaknya. Pelepasan rasa itu hanya dengan mencoba bercerita dan berbagi masa pada anak sulungnya.
Si putra sulung (saya lupa namanya di di cerita ini) terlihat seperti berusaha mengalihkan pembicaraan si Ibu, sepertinya dia tidak mau lagi mendengar atau membahas masalah ini lagi masalah sosok seorang ayah, omong kosong dan baginnya pribadi Ayah adalah sosok musuh baginya, sosok seorang yang sudah lama meninggalkannya sekeluarga, sosok yang atak acuh dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Jadi setiap si ibu berceriyta atau membagi masalah ini si sulung selalu marah dan berusah mengalihkan topik pembicaraan, toh menurutnya dia tidak mengenal sosok sang Ayah.
Singkat cerita, setelah ditinggal lebih dari 20 tahun (waktu yang cukup lama) tiba-tiba sosok Ayah yang selalu dibicarakan si Ibu tua tadi hadir di tengah situasi ini. lelaki tua itu terlihat sudah tidak sehat lagi, tidak terawat, kotor terlihat seprti pengemis. Dan lelaki tua terlihat canggung menghadipi situasi ini, dia merasa bersalah, kesalahan yang yang sudah berlarut-larut, kesalahan yang sudah di telan mentah oleh anak-anaknya sejak masih kecil. Si Ibu merasakan hal tersebut pasti, tapi dia berusaha menyambut melepaskan rindu yang begitu dalam dengan hangat sosok suami yang dulu pernah di cintainya dan beradu kasih.
Sambutan hangat?, tidak bagi si sulung, dia meneriakkan “apa-apaan ini hoi bapak tua?, tiba-tiba datang kerumah ini dan berlaku seperti tidak ada masalah, dan mangaku sebagai sosok Ayah dari kita, hah, ibu menjadi babu, aku menjadi budak, itu karena kau. Dan perlu kau tahu, akulah Ayah keluarga ini, akulah tulang punggung keluarga ini, kemana kau selama ini?, setelah menghadirkan kami ke dunia ini dengan pelampiasan nafsu mu, lalu kau campakkan kami begitu saja. Sejak kau tinggalkan kami, sosok Ayah bagiku adalah musuhku,.” Di balik amarah yang terlihat begitu dalam, disana juga terliha sikap atau kemurnian seorang anak yang juga rindu akan sosok seorang Ayah, yang mana sosok tersebut ada di depannnya sosok yang selama ini dia rindukan, sangat dalam.
Si Ayah hanya diam sambil air matanya mengalir di pipi keriputnya, si lelaki tua menyampaikan minta maaf atas semua kesalahan yang telah dilakukan terhadap keluarganya sendiri selama ini, dan dia menyadari akan situasi ini, dia terlihat merasa berdosa atas salah satu sabda dari nabi kepercayaan : “Suami adalah penjaga (pemimpin) terhadap kaum keluarga dan ia dipertanggungjawabkan terhadap orang-orang di bawah jagaannya dan istri adalah penjaga (pemimpin) di dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya dan dipertanggungjawabkan terhadap orang-orang yang di bawah tanggungannya” (al-Bukhari). dan masih banyak lagi sabda-sabda membahas masalah ini.
Dia tidak tahu mau berbuat apa lagi dengan penolakan ini, si lelaki tua mengambil keputusan untuk pergi, dan tidak mengganggu keluarga ini lagi untuk selamanya, ya selamanya. si lelaki tua pamit pergi. Di akhir cerita diketahui si lelaki tua mati terpeleset di jembatan, dan sulung pun menyusul mati demi kerinduan atas Ayahnya. di akhir pertunjukan ini saya sempat meneteskan air mata, di dukung atas backsound yang mengharukan, ditambah adegan adegan kematian sang lelaki tua dan menyusul si sulung yang malang. teaterikal yang menurut saya cukup pintar mengiring emosi para penikmatnya.
Dari teaterikal ini yang menarik bagi disini saya adalah MITOS sosok lelaki sebagai kepala rumah tangga, tentang tanggung jawab sebagai seorag lelaki, dan kemudiannya menjadi Ayah. Dan beban yang kau tanggung seperti pengharapan dari perempuan dan keluarga “sosok lelaki idaman” ,sosok “Ayah yang bertanggung jawab” seolah – olah lelakilah biang dari semua kekacauan rumah tangga, kemelaratan rumah tangga, atau kekagalan rumah tangga. Saya ragu akan mitos bahwa “laki-laki adalah seoarang pemimpin rumah tangga” dan kita ketahui mitos ini juga difungsikan untuk berpoligami ria. bentuk dari paham seorang patriark, seorang pria yang bertindak sebagai kepala keluarga dalam sebuah keluarga besar. Sistem dimana keluarga dipimpin oleh seorang pria yang dianggap senior disebut patriarki. Kata patriark berasal dari Bahasa Yunani, gabungan dari kata πάτερ yang berarti bapak dan kata άρχων yang berarti pemimpin, pemerintah, atau raja. Abraham, Ishak, dan Yakub dikenal sebagai tiga patriark Bangsa Yahudi, dan masa dimana mereka hidup disebut Zaman Para Patriark.
Saya ingat kepada perkataan seorang pastur di acara tv pada waktu itu, dia berkata “memang tidak mudah untuk berkeluarga, untuk hidup berdampingan, disana kau akan mencoba berbagi, tidak seperti sebelumnya ketika belum berkeluarga atau berpasangan, sampai ada pastur lain mengatakan kalau kau tidak sanggup untuk berkeluarga jangan menikah.” ini mengingatkan saya pada konsep “Selibat” adalah sebuah pilihan hidup yang bersumber dari suatu pandangan atau pemikiran tertentu yang memutuskan sang pribadi untuk memilih hidup tanpa menikah. Pilihan hidup ini, meskipun bebas dianut oleh siapa saja, sebagian besar dilakukan oleh kaum rohaniwan dari agama Kristen (terutama Katolik) dan agama Buddha. Sejumlah rohaniwan dari agama-agama lain seperti agama Hindu, penganut paham mistik dan sufi juga melakukan hal ini.
“Namun apakah berkeluarga adalah sebuah kebahagiaan? Pada kenyataannya banyak keluarga yang tidak bahagia. Lalu apakah berkeluarga adalah penderitaan? Ini juga pernyataan yang salah. Yang tepat, berkeluarga adalah perjuangan untuk membangun kebahagiaan. Jadi berkeluarga adalah sebuah perjuangan, sebuah jerih payah. Sebuah perjuangan yang terkadang harus meneteskan air mata, keringat dan darah. Berkeluarga adalah perjuangan sepasang manusia untuk bersama¬-sama bergandeng tangan membangun kebahagiaan. Jadi kebahagiaan bukan jatuh dari langit, tapi kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan bersama. Kalau tidak ada perjuangan, tidak ada kebahagiaan.” (saya kutip dari sebuah blog lain Posted on July 17, 2012 · Posted in Bimbingan Kasih, Kasih Lestari) saya tambahkan kebahagian datang bukan dari sosok lelaki saja, sosok Ayah, atau disebut juga pemimpin rumah tangga, bukan dari satu sisi. kebahagian datang dari kekuatan bersama kesatuan berbagai sisi dari keluarga tersebut dan memang berkeluarga adalah sebuah pilihan, ini bukan bermaksud untuk menjadi pengecut, dan selalu selalu dan selalu jangan jadi pengecut!.
